INFORMASI JURUSAN DESAIN KOMUNIKASI VISUAL
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
SINGARAJA
PENGERTIAN
DAN SEJARAH DESAIN KOMUNIKASI VISUAL
PENGERTIAN
DESIGN KOMUNIKASI VISUAL
Istilah
Desain Komunikasi Visual sudah sering didengar, namun masih saja banyak yang
belum mengetahui sebenarnya istilah tersebut dan sejauh mana ruang lingkup
hingga pengaruhnya dalam kehidupan kita sehari-hari. Sebagian orang secara
gampang mengartikan Desain Komunikasi Visual identik dengan tukang reklame atau
pekerjaan tukang bikin iklan di sepanjang jalan dengan papan nama yang
bertuliskan advertising menerima pesanan sepanduk satu jam jadi, cetak
undangan, sablon dll. Itulah gambaran sekilas dari sebagian masyarakat kita,
sehingga mereka memandang sebelah mata orang yang bergelut di dunia desain.
Ada juga
sebagian orang yang mengira bahwa Desain Komunikasi Visual ( DKV ) itu identik
dengan iklan. Memang tidaklah salah pernyataan tersebut, namun juga tidak
sepenuhnya benar. Iklan hanya salah satu bidang yang dihasilkan oleh desain
komunikasi visual.
Sedangkan
menurut suber dari wikipedia Desain komunikasi visual atau lebih dikenal di
kalangan civitas akademik di Indonesia dengan singkatan DKV pada dasarnya
merupakan istilah penggambaran untuk proses pengolahan media dalam
berkomunikasi mengenai pengungkapan ide atau penyampaian informasi yang bisa terbaca
atau terlihat. Desain Komunikasi Visual erat kaitannya dengan penggunaan
tanda-tanda (signs), gambar (drawing), lambang dan simbol, ilmu dalam penulisan
huruf (tipografi), ilustrasi dan warna yang kesemuanya berkaitan dengan indera
penglihatan.
Proses komunikasi
disini melalui eksplorasi ide-ide dengan penambahan gambar baik itu berupa
foto, diagram dan lain-lain serta warna selain penggunaan teks sehingga akan
menghasilkan efek terhadap pihak yang melihat. Efek yang dihasilkan tergantung
dari tujuan yang ingin disampaikan oleh penyampai pesan dan juga kemampuan dari
penerima pesan untuk menguraikannya.
Bagi
kalangan praktisi periklanan dan dunia akademik di bidang komunikasi istilah
ini telah dikenal, walaupun Desain Komunikasi Visual merupakan istilah
yang baru (sebelumnya dikenal dengan desain grafis). Kalangan akademis
menyebutnya pun beragam, ada yang menyebut sebagai DKV ( Dekave ) atau
DISKOMVIS, yang merupakan akronim dari Desain Komunikasi Visual.
Asal Kata Desain Komunikasi Visual
Jika kita
memulai mendefinisikan Desain Komunikasi Visual ditinjau dari asal
kata (etimologi) istilah ini terdiri dari tiga kata, desain diambil dari kata
“designo” (Itali) yang artinya gambar. Sedang dalam bahasa Inggris desain
diambil dari bahasa Latin designare) yang artinya merencanakan atau merancang.
Dalam dunia seni rupa istilah desain dipadukan dengan reka bentuk, reka rupa,
rancangan atau sketsa ide.
Kemudian
kata komunikasi berarti menyampaikan suatu pesan dari komunikator ( penyampai
pesan ) kepada komunikan (penerima pesan) melalui suatu media dengan maksud
tertentu. Komunikasi sendiri berasal dari bahasa Inggris communication yang
diambil dari bahasa Latin “communis” yang berarti “sama” ( dalam Bahasa
Inggris:common ). Kemudian komunikasi kemudian dianggap sebagai proses
menciptakan suatau kesamaan ( commonness ) atau suatau kesatuan pemikiran
antara pengirim ( komunikator ) dan penerima ( komunikan ).
Sementara
kata visual bermakna segala sesuatu yang dapat dilihat dan direspon oleh indera
penglihatan kita yaitu mata. Berasal dari kata Latin videre yang artinya
melihat yang kemudian dimasukkan ke dalam bahasa Inggris visual.
Jadi Desain
Komunikasi Visual bisa dikatakan sebagai seni menyampaikan pesan ( arts of
commmunication ) dengan menggunakan bahasa rupa ( visual language ) yang
disampaikan melalui media berupa desain yang bertujuan menginformasikan,
mempengaruhi hingga merubah perilaku target audience sesuai dengan tujuan yang
ingin diwujudkan. Sedang Bahasa rupa yang dipakai berbentuk grafis, tanda, simbol,
ilustrasi gambar/foto,tipografi/huruf dan sebagainya yang disusun
berdasarkan kaidah bahasa visual yang khas berdasar ilmu tata rupa.
SEJARAH DESAIN KOMUNIKASI VISUAL
Di
Indonesia, Desain grafis dan cabang desain lainnya hadir berkat digalakannya
kolonilaisasi. Pada masa pendudukan Belanda, pemerintahannya pernah menunjuk
beberapa seniman untuk melakukan studi landscape di Indonesia untuk merekam
eksotisme negara ini yang kemudian dituangkan dalam karya lukisan yang berkesan
romantis dan beberapa teknk cetak seperti wood
engravingdan lithography. Karena memang pada masa ini seni rupa Barat
sedang merayakan romantisme yang kajian visualnya seringkali ditujukan pada
landscape dan peristiwa heroik, yang dikenal dengan istilah ‘mooi indie’, atau
hindia yang cantik. Berangkat darinyalah desain grafis mulai diperkenakan
secara tidak langsung kepada rakyat Indonesia. penguasaan teknik cetak pun
bukan dari akademi, namun sebatas dari obrolan dan interaksi dengan orang
asing. Mesin cetak pertama kali di datangkan ke pulau Jawa pada tahun 1659.
Karena tidak ada operatornya, mesin itu menganggur sampai berpuluh-puluh tahun.
Tujuan misionaris mendatangkan mesin cetak erat kaitannya dengan niat mereka
untuk mencetak kitab suci dan buku-buku pendidikan Kristen. Selain mencetak
kitab suci, mereka juga menerbitkan surat kabar berhaluan pendidikan
Kristen. moving image,display dan pameran. Sejak tahun 1979, istilah
desain komunikasi visual mulai dipakai menggantikan istilah desain grafis.
Akhir 1970
dan seterusnya, tumbuh perusahaan-perusahaan desain grafis yang sepenuhnya
dipimpin oleh desainer grafis. Berbeda dengan biro iklan, perusahaan-perusahaan
ini mengkhususkan diri pada desain-desain non-iklan, beberapa di antaranya
adalah Vision (Karnadi Mardio), Grapik Grapos Indonesia (Wagiono Sunarto,
Djodjo Gozali, S Prinka dan Priyanto Sunarto), Citra Indonesia (Tjahjono Abdi
dan Hanny Kardinata) dan GUA Graphic (Gauri Nasution). Di Bandung sebelumnya
sudah ada design center Decenta yang didirikan pada tahun 1973, antara lain
oleh AD Pirous, T Sutanto, Priyanto Sunarto, yang walau lebih mengandalkan pada
disiplin seni grafis juga menangani beragam produk desain grafis, mulai sampul
buku, kartu ucapan, logo, kalender, pameran dan elemen estetis gedung.
Periode
awal 1980 mencatat perkembangan jumlah perusahaan desain grafis yang cukup
signifikan di Jakarta, antara lain: Gugus Grafis (FX Harsono, Gendut Riyanto),
Polygon (Ade Rastiardi, Agoes Joesoef), Adwitya Alembana (Iwan Ramelan, Djodjo
Gozali), dan di Bandung: Zee Studio (Iman Sujudi, Donny Rachmansjah), MD Grafik
(Markoes Djajadiningrat), Studio “OK!” (Indarsjah Tirtawidjaja dkk), dll.
Menjelang
akhir 1990-an, konsepsi baru seni global yang diberi tajuk postmodernisme yang
digalakan sampai sekarang ini membawa arus perubahan dan kebaruan yang radikal
dan kritis pada seni rupa Indonesia, tidak terlepas seni grafis. Penyampaian
idea yang dimiliki seiman pada karya dituangkan pada
media dan
material yang dianggap tidak lazim pada masanya. Seperti lahirnya performance
art, instalasi, dan media lainnya yang unik dan mengundang kontroversi. Seperti
pada Bienalle IX Jogja yang sebagian besar karyanya merayakan kehadiran
potmodernisme dengan menjatuhkan pilihan pada instalasi. Meskipun begitu,
seniman grafis tetap mencoba memadukan teknik grafis dengan media asing yang
dinamai instalasi, sepreti yang dilakukan Marida Nasution pada pameran ‘Taman
Plastik’, Tisna Sanjaya dengan instalasinya yang berjudul ‘Seni Grafis dan
Sepakbola’, dan beberapa seniman lainnya yang mencoba tetap menyisipkan corak
seni grafis yang membentuk proses penciptaan karyanya bersanding dengan arus
deras kritisisme postmodernisme.
Lebih jauh
lagi, eksplorasi media seni grafis kian berkembang didukung oleh laju
perkembangan teknologi yang kian pesat juga. Teknologi-teknologi grafis
mutakhir pun seperti c-print, digital print, dll mulai dipertanyakan
konvensinya. Beberapa pihak mencoba untuk mengamini hal tersebut, namun banayak
pihak yang ‘keukeuh’ menyuarakan seni grafis konvensional lebih bernilai
daripada seni grafis dengan media cetak mutakhir, dengan anggapan terlalu
mudahanya reproduksi yang ditawarkan media cetak baru yang disokong teknologi
sehingga dianggap makin menjauhkan dan membei jarak seniman dari karyanya.
Namun kalangan postmodernisme yang ekletis beranggapan bahwa penciptaan karya
seni tidak lagi dibatasi pada konvensinya, namun sejauh apa seniman mampu
mempertanggung jawabkan pemilihan penuangan ide karya pada jenis media.
Selain
perkembangan historikal di atas, hal menarik yang terlihat pada perkembangan
seni grafis Indonesia juga tampak pada dialog Jogja-Bandung yang selalu hangat
dibicarakan sampai saat ini, seperit pada seni lukis, seni grafis pun mulai
menampakkan kecenderungan karya yang berbeda antar seniman Jogja dan Bandung.
Secara umum, dari masa Sudjojono, bapak seni lukis modern Indonesia,
kecenderungan mazhab kedua kota ini memang berbeda, Jogja yang lekat dengan
kaitan seni dengan kehidupan sosial kemasyarakatan dan Bandung dengan perayaan
modernism pada karyanya. Pun pada akademi seni yang dikembangkan oleh kedua
kelompok seniman yang telah memiliki perbadaan visi ini, Sekolah Guru Gambar
yang kemudian menjadi ITB, dan ASRI yang kemudian menjadi ISI Jogja. Perbedaan
visi yang diturunkan para pendir akademi ini kemudian berkembang dan kian
mengerucut, sehingga kedua kecenderungan ini ramai dibicarakan. Khususnya pada
seni grafis, kecenderungan penggunaan media pun mulai terlihat, hal ini boleh
jadi disebabkan oleh ketersediaan mesin cetak dan alat pendukung lainnya dalam
berkarya seni grafis. ITB, dikenal sebgai institusi yang memiliki mesin
terlengkap di Indonesia melahirkan seniman yang diberi kesempatan lebih untuk
mengeksplorasi teknik grafis, sementara di Jogja, kelangkaan mesin cetak datar
dan kurang fungsionalnya mesin cetak dalam kemdian megantarkan senimannya untuk
amat menggeluti teknik cetak tinggi. Serigrafi, kemudian menjadi media yang
diminati kedua polar ini, karena kemudahan dalam pengayaan media pendukungnya,
namun tetap memiliki kecenderungan yang berbeda dalam penyajian karyanya.
Keterbatasan mesin ini kemudian tidak dikeluhkan para penggrafis Jogja, mereka
dengan giarnya menggeluti cukil kayu hingga mencapai penguasaan teknis yang
dapat dinilai amat baik. sementara di bandung, tradisi kesadaran media menjadi
hal yang sering dipertanyakan pada senimannya, karena keleluasaan dalam
pemilihan teknik cetak yang digunakan.
Seni grafis
kontemporer Indonesia adalah cabang seni yang dinilai amat kaya, baik secara
visual mauoun ide yang diutuangkan senimannya. proses berkarya grafis kemudian
mempengaruhi kecenderungan berkarya para senimannya kemudian melahirkan seniman
yang memiliki pola kerja yang teratur dan pemikiran yang terstruktur.
Perkembangan seni grafis kontemporer Indonesia kiranya dinilai amat berkembang
dengan baik, eskplorasi teknis diaplikasikan pada media yang dianggap kurang
lazim dalam penyajian karya grafis. Dari kertas, kanvas, kayu, bahkan akrilik.
Perayaan teknologi pun memberikan banyak opsi yang sangat banyak bagi seniman
grafis untuk berkarya. Bahkan lebih jauh lagi, pereneungan kontemplatif seniman
kemudian melahirkan penyajian karya yang menggunakan teknik cetak secara
filosofis.
JURUSAN
DESAIN KOMUNIKASI VISUAL
FAKULTAS
BAHASA DAN SENI
di
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA SINGARAJA, BALI
kampus bawah Fakultas Bahasa dan Seni
Di Bali, ada beberapa perguruan
tinggi yang memberikan materi secara langsung baik itu fakultas maupun jurusan
desain komunikasi visual. Di Bali utara, tepatnya dikota Singaraja terdapat
sebuah Universitas yang bernama Universitas Pendidikan Ganesha, dimana didalamnya
terdapat jurusan Desain Komunikasi Visual di bawah Fakultas Bahasa dan Seni,
bertempat di jl. A.Yani Nomor 67, Singaraja. Jurusan ini baru baru lahir tahun 2013, dengan
angkatan pertama 5 orang. Mungkin
karena kurangnya informasi dan progam studi jangka diploma 3 tahun yang dibuka
menyebabkan sedikitnya peminat.
Walaupun dengan mahasiswa yang bisa
dibilang sedikit, jurusan Deskomvis Undiksha tetap melanjutkan perjuangan demi
melahirkan desainer – desainer handal dari Singaraja. Di tahun pertama, jurusan
Deskomvis Undiksha mengadakan pameran kartun yang dibuka langsung oleh bapak
Bupati, bekerja sama dengan komunitas kartunis di Singaraja.
Logo DKV UNDIKSHA
Umumnya sebuah jurusan di Universitas, pasti memiliki HMJ (Himpunan
Mahasiswa Jurusan). Deskomvis Undiksha pun memiliki HMJ dengan nama IMADEKUAL
(Ikatan Mahasiswa Desain Komunikasi Visual). Imadekual dalam bahasa bali bisa
diartikan si made yang nakal. Made adalah salah satu nama khas untuk orang
bali, sedangkan kual berarti nakal. Maksudnya adalah nakal dalam konteks
berkreasi yang kreatif seperti anak kecil yang baru tumbuh mengenal dunia.
Ketua Jurusan DKV UNDIKSHA
Logo HMJ DKV UNDIKSHA
Banyak Kegitan yang sudah dilaksanakan oleh jurusan maupun HMJ Deskomvis
Undiksha sampai angkatan ke tiga tahun 2015, untuk info lebih lanjut tentang
jurusan Desain Komunikasi Visual Undiksha bisa di lihat di :